Waktu kamu denger ada prekuel dari seri The Hunger Games yang mau dirilis, jujur aja, mungkin kamu agak skeptis. Soalnya, siapa sih yang kepikiran pengen tahu lebih banyak soal masa muda Presiden Snow? Sosok antagonis yang di trilogi sebelumnya selalu tampil dingin, kejam, dan manipulatif. Ketika kamu nonton filmnya, “The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes”, semua rasa ragu itu langsung runtuh.
Review film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes ini bakal bikin kamu melihat semesta Panem dari perspektif yang sama sekali berbeda. Bukan lagi tentang Katniss dan perlawanan District 12, tapi tentang asal-usul kenapa Capitol bisa sebegitu dominan, dan gimana seorang Coriolanus Snow yang awalnya terlihat charming dan ambisius, perlahan berubah jadi tokoh yang kamu kenal sebagai penguasa kejam.
Masa muda Coriolanus Snow yang nggak seindah tampangnya
Kamu mungkin berpikir, “Snow muda pasti udah kaya dan berkuasa sejak kecil.” Tapi ternyata nggak. Snow versi muda (yang diperankan apik banget sama Tom Blyth) hidup di tengah Capitol yang glamor, tapi dengan kondisi keluarga yang lagi jatuh miskin. Dia hidup bareng neneknya dan sepupunya, Tigris, sambil berjuang mempertahankan status sosial yang sebenarnya udah di ujung tanduk.
Dari sini kamu langsung dapat gambaran kalau motivasi Snow bukan sekadar haus kekuasaan, tapi juga karena dia benar-benar takut kehilangan tempatnya di puncak. Tekanan buat tetap unggul sebagai mahasiswa akademi Capitol bikin Snow rela melakukan apa aja, termasuk saat dia ditugaskan jadi mentor untuk Lucy Gray Baird—tribut dari District 12 yang misterius dan karismatik.
Lucy Gray Baird yang beda dari semua tribute sebelumnya
Buat kamu yang udah nonton trilogi The Hunger Games sebelumnya, kamu pasti kebayang kayak apa brutalnya arena dan betapa suramnya nasib para tribute. Tapi Lucy Gray (diperankan oleh Rachel Zegler) hadir sebagai sosok yang jauh dari kesan tribute biasa. Dia penyanyi, dia punya pesona yang aneh, dan dia nggak takut jadi diri sendiri.
Chemistry antara Lucy Gray dan Snow jadi salah satu kekuatan terbesar film ini. Hubungan mereka bukan hubungan romansa biasa. Di satu sisi, ada ketulusan. Di sisi lain, kamu juga mulai nyadar kalau hubungan ini pelan-pelan berubah jadi permainan kekuasaan dan manipulasi. Makin lama, kamu makin mikir, “Siapa yang sebenarnya lagi dikendalikan?”
Sentuhan gelap dan atmosfer kelam yang khas Hunger Games
Kalau kamu suka tone film yang gelap dan punya nuansa politik kuat kayak di trilogi aslinya, film ini jelas nggak mengecewakan. Francis Lawrence sebagai sutradara tetap mempertahankan gaya visual yang gritty dan sinematik. Bahkan, dibanding film-film sebelumnya, The Ballad of Songbirds & Snakes terasa lebih dewasa dan tragis.
Kamu akan diajak melihat Hunger Games generasi awal yang masih sangat mentah dan kejam secara mentah-mentahan. Nggak ada parade glamor, nggak ada sponsor mewah. Arena saat itu masih kayak kandang gladiator, dan para tribute cuma dianggap tontonan kelas rendahan. Dari sini kamu bisa ngerasain betapa sistemik dan brutalnya struktur Capitol sejak awal, dan gimana Snow muda mulai menyadari bahwa kontrol adalah segalanya.
Perubahan Snow yang bikin kamu geregetan
Mungkin awalnya kamu bakal simpati sama Snow. Dia pinter, dia punya visi, dan dia juga ngebantu Lucy Gray bertahan hidup. Tapi seiring waktu, kamu bakal mulai lihat sisi lain dari dirinya. Ambisi, ketakutan, dan trauma masa lalu bikin Snow berubah jadi pribadi yang manipulatif. Dia mulai merasa punya hak atas hidup orang lain, termasuk Lucy Gray.
Salah satu bagian paling mencolok di film ini adalah bagaimana Snow justru jadi tokoh yang abu-abu. Kamu bakal dilema sendiri—mau benci, tapi juga ngerti kenapa dia bisa sampai seperti itu. Dan ending filmnya? Wah, kamu bakal duduk diam sambil mikir, “Gila, ini plot twist-nya berat banget.” Snow nggak tiba-tiba jahat, dia pelan-pelan berubah, dan proses perubahannya itu yang bikin kamu merasa nggak tenang selama nonton.
Ada musik, ada romansa, tapi tetap tragis
Salah satu hal unik dari film ini adalah elemen musik yang dibawa Lucy Gray. Lagu-lagunya bukan cuma jadi hiasan, tapi punya makna yang dalam dan menyiratkan harapan, pemberontakan, dan rasa sakit. Lagu-lagu itu juga jadi penanda penting dalam relasi dia dengan Snow.
Tapi jangan harap ada kisah cinta ala drama remaja. Hubungan mereka jauh lebih kompleks dan menyakitkan. Bahkan kamu bisa bilang, semua yang terjadi antara mereka adalah bentuk peringatan tentang bagaimana cinta bisa berubah jadi senjata ketika ada ambisi dan kekuasaan yang ikut bermain.
Akting solid dan visual yang memukau
Nggak bisa dipungkiri, para aktor di film ini tampil luar biasa. Tom Blyth berhasil membawa Snow jadi karakter yang nggak cuma charming tapi juga creepy secara halus. Rachel Zegler pun memberikan performa yang emosional tapi nggak berlebihan. Belum lagi dukungan aktor lain seperti Hunter Schafer sebagai Tigris dan Jason Schwartzman sebagai Lucky Flickerman yang sukses nyuntikkan momen lucu di tengah suasana suram.
Visual film ini juga sangat memanjakan mata. Dari arsitektur Capitol sampai hutan-hutan liar yang jadi tempat arena, semuanya terasa autentik dan memperkuat atmosfer yang dibangun. Kamu bakal kerasa kayak lagi tenggelam di dunia Panem yang penuh ketegangan.
Kalau kamu berharap film ini punya ending bahagia atau semacam redemption story, kamu harus siap-siap kecewa. Karena film ini bukan soal harapan. Ini soal proses kehancuran moral seseorang. Review film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes ini jelas nunjukin bahwa sistem yang busuk bisa mengubah orang baik jadi monster, terutama ketika mereka merasa cuma itu satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Film ini bukan cuma worth to watch, tapi juga worth to reflect. Kamu bakal dibikin mikir panjang setelah layar gelap, sambil nyusun kembali potongan-potongan cerita Snow yang selama ini cuma kamu tahu dari sisi Katniss. Dan pada akhirnya, kamu bakal sadar bahwa setiap diktator pasti pernah jadi manusia biasa yang cuma pengen dihargai, dicintai, dan dianggap penting.